Senin, 16 Agustus 2010

KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Jumat, 30 April 2010

KESULITAN BELAJAR DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN

Zaenal Alimin
Prodi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Sekolah Pascasarjana UPI
Email: alimin@upi.edu

A.Pendahuluan

Kesulitan belajar merupakan bidang yang sangat luas, dan sangat komplek untuk dipelajari, karena menyangkut sekurang-kurangnya aspek psikologis, neurologis, pendidikan dan aspek kehidupan sosial anak dalam keluarga/ masyarakat. Setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang yang berebeda dalam memahami dan menjelaskan fenomena kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak.

Tulisan singkat ini berusaha untuk melihat fenomena kesulitan belajar yang dialami oleh seorang anak dari sudut pandang pendidikan. Ilmu pendidikan berpendirian bahwa semua anak miliki perbedaan dalam perkembangan yang dialami, kemampuan yang dimiliki, dan hambatan yang dihadapi. Akan tetapi ilmu pendidikan juga berpendirian bahwa meskipun setiap anak mempunyai perpedaan-perbedaan, mereka tetap sama yaitu sebagai seorang anak. Oleh karena itu jika kita berhadapan dengan seorang arang anak, yang pertama harus dilihat, ia adalah seorang anak, bukan label kesulitannya semata-mata yang dilihat. Dengan kata lain pendidikan melihat anak dari sudut pandang yang positif, dan selalu melihat adanya harapan bahwa anak akan dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Sudut pandang seperti inilah yang mendorong para pendidik untuk bersikap optimis dan tidak pernah menyerah.

Pendidikan memposisikan anak sebagai pusat aktivitas dalam pembelajaran. Ketika pembelajaran dilakukan maka pertimbangan pertama yang diperhitungkan adalah apa yang menjadi hambatan belajar dan kebuhan anak. Apabila hal itu dapat diketahui maka aktivitas pendidikan akan dipusatkan kepada apa yang dibutuhkan oleh seorang anak, bukan pada apa yang diingikan oleh orang lain. Pendirian seperti itu menganggap bahwa fungsi pendidikan antara lain untuk memfasitilasi agar anak berkembang menjadi dirinya sendiri secara optimal sejalan dengan potensi yang dimilikinya.


Setiap anak yang mengalami kesulitan belajar, akan menunjukkan fenomena yang beragam (heterogen), akan tetapi untuk memudahkan dalam memahami keragaman fenomenan itu, kesulitan belajar dapat dikategorikan menjadi dua bagian yaitu kesulitan belajar yang bersifat internal yang disebut learning disability dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal berkaitan dengan factor lingkungan yang disebut dengan learning problem.

B.Memahami Kesulitan Belajar Seorang Anak

1. Kesulitan Belajar Internal (Learning Disabilities)

Kesulitan belajar yang bersifat internal berkaitan dengan kelainan sentral pada funsi otak. Disiplin ilmu pendidikan tidak mempunyai kompentensi untuk menjelaskan bagaimana kelianan fungsi otak terjadi. Hal yang penting untuk dipahami adalah fenomena-fenomena apa yang muncul dan berhubungan langsung dengan aktivitas belajar sorang anak.

Ketika seorang anak belajar memerlukan kemampuan dalam persepsi (perception), baik pendengaran, penglihatan, taktual dan kinestetik, kemampuan mengingat (memory), proses kognitf (cognitive prcsess) dan perhatian (attention). Kemampuan-kemampuan tersebut bersifat internal di dalam otak. Proses belajar akan mengalami hambatan/kesulitan apabila kemampuan-kemampuan tersebut mengalami gangguan. Apabila ada seorang anak yang mengalami kesulitan pada keempat aspek seperti itu ada kemungkinan anak tersebut mengalai kesulitan belajar yang bersigfat internal (learning disability)
a. Persepsi
Persepsi diperlukan dalam belajar utuk menganalisis informasi yang diterima. Misalnya, seorang anak diperlihatkan bentuk /h/ dan /n/. atau angka /6/ dengan /9/. Anak yang persepsi penglihatannya baik, akan dapat membedakannya. Sedangkan anak yang mengalami ganguan persepsi akan sangat sulit untuk menemukan karakter yang membedakan kedua bentuk tersebut. Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi seorang anak yang mengalami hambatan seperti ini untuk belajar membaca.

Dalam hal pesepsi pendengaran, misalnya seorang anak diminta untuk mendengakan kata /paku/ /palu/ /batu/ dan /bola/ Kemudian ditanyakan kepada anak tersebut, kata mana yang bunyi akhirnya tidak sama. Anak yang kemampuan persepsinya baik dapat menemukan perbedaan itu, tetapi anak yang mengalami gangguan pesepsi, sangat sulit untuk membedakannya. Kesulitan dalam perspsi pendengaran, berpengaruh lansung kepada kemapuan berbahasa (khususnya membaca).

b. Mengingat (Memory)

Mengingat (memory) adalah kemampuan untuk menyimpan informasi dan pengalaman yang pernah dipelajari pada masa lalu dan dapat dimunculkan kembali jika diperlukan. Kemampuan mengingat ini mempunyai dua tingkatan yaitu ingatan jangka pendek (short term memory) dan ingatan jangka panjang (long term memory).

Jika seorang guru memperlihatkan gambar-gambar kepada seorang anak seperi: gambar buku, baju, roti, bola, dan topi, dalam beberapa detik. Setelah itu anak ditanya gambar apa saja yang dilihat. Anak yang ingatannya baik akan dapat menyebutkan kembali gambar-gambar itu dengan mudah, akan tetapi anak-anak yang mengalami kesulitan dalam mengingat tidak dapat menyebutkannya kebali.

Mengingat sesuatu, baik yang dilihat maupun yang didengar dalam tempo yang sangat singkat, disebut ingatan jangka pendek (short term memory). Belajar sangat erat hubungannya dengan ingatan jangka pendek. Anak yang mengalami kesulitan dalam ingatan jangka pendek akan sangat sulit untuk menyimpan informasi atau pengalaman belajar dalam ingatan jangka panjang.

Apa bila seorang anak ditanya oleh gurunya, “Pada libur semester lalu kamu pergi kemana”? anak yang kemampuan mengingatnya baik akan dapat menjelaskan segala sesuatu yang dialaminya ketika libur dengan tepat. Tetai anak yang mengalami hambatan dalam mengingat akan mengalai kesulitan untuk mengungkapkan kembali apa yang pernah dialaminya. Kemampuan mengingat sesuatu yang sudah ada jarak waktu (lama) dan dapat mengungkapkan kemabali pada saat yang diperlukan, disebut dengan kemampuan ingatan jangka panjang (long term memory). Orang dapat memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, antara lain karena dapat menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang pernah dipelajarinya yang disimpan dalam ingatan jangka panjang.

Proses belajar akan sangat sulit dan tidak efektif apabila seorang anak mengalami hambatan dalam kemampuan mengingat baik pada ingatan jangka pendek maupun pada ingatan jangka panjang.

c. Proses Kognitif (Cognitive Process)

Ketika seorang anak sedang belajar, misalnya belajar konsep bilangan maka diperlukan kemampuan untuk menghubungkan pengertian antara lambang (simbul) bilangan dengan kuantitas objek. Misalnya lima rumah mempunyai hubungan dengan simbul bilangan /5/. Dua buah rumah mempunyai hubungan dengan simbul /2/. Apabila dua rumah dikelompokkan dengan lima rumah, anak dapat memahami bahwa akan menjadi lebih banyak rumah, yaitu tujuh /7/ rumah.

Contoh lain, ketika seorang ibu memperlihatkan kepada anaknya empat buah lingkaran yang ukurannya berbeda-beda (besar, sedang, kecil, kecil sekali). Kemudian anak diminta untuk mengurutkan lingkran itu secara sistematis dari yang kecil ke yang besar atau sebaliknya. Untuk dapat melakukan tugas itu diperlukan kemampuan untuk mengubungkan karakteristik antara lingkiran yang satu demgam yang lain dan dapat membedakan ukurannya.

Dari dua contoh di atas, belajar itu pertama, memerlukan kemampuan untuk mengubah sesutu yang kongret ke dalam symbol yang abstrak. Seperiti misalnya dua rumah (kongkret) dapat diubah dan diwakili oleh symbol /2/ dalam bentuk yang abstrak. Bunyi diubah menjadi simbul grafem (alphabet). Aktivitas seperti ini dinamakan proses reprsentasi mental (mewakilkan objek ke dalam sibol). Proses seperti ini membuat belajar menjadi sangat efektif. Kedua, belajar memerlukan kemampuan untuk menganalisis seperti misalnya membedakan objek, menemukan atribut yang sama dari objek, sehingga dapat mengelompokkannya, melihat hubungan antara objek yang satu dengan yang lain (logika dan penalaran). Proses seperti ini dinamakan proses kognitif (terbentuknya pengertian dalam pikiran). Anak yang mengalami kesuliatan dalam proses kognitif akan sangat sulit untuk memahami sesuatu dan tidak akan terbentuk sebuah pengertian.

d. Perhatian (Attention)

Perhatian (attention) adalah kemampuan seorang anak dalam memilih stimulus (perangsang) tertentu, mana yang menurutnya penting dan mana yang tidak penting. Apabila seorang anak berhadapan dengan beberapa stimulus secara bersamaan, ia memilih salah satu diantaranya, sehingga ia memusatkan perhatian hanya kepada stimulus yang dililihnya.

Perhatian (attention) sangat penting bagi seorang anak untuk dapat belajar. Hampir tidak mungkin proses belajar akan terjadi pada seorang anak apabila memiliki kesulitan untuk memperhatikan objek atau kegiatan yang sedang dipelajarinya. Anak yang tidak dapat memilih stimulus mana yang penting, akan memberikan respon kepada semua stimulus dengan intensitas yang sama. Oleh karena itu anak seperti ini tidak bisa focus hanya pada satu objek atau kegiatan, tetapi perhatiannya tertuju kepada semua objek yang sedang dihadapi (inattention).
2. Kesulitan Belajar Berkenaan dengan Faktor Lingkungan (Eksternal)
Kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem), sangat terkait dengan dua situasi. Pertama, situasi di luar dan sebelum sekolah. Kedua, terkait dengan situasi di sekolah.
a. Situasi di Luar dan Sebelum Sekolah
Aktivitas anak di rumah berpengaruh terhadap perkembangannya. Apabila lingkungan rumah memberi peluang yang cukup bagi seorang anak untuk mendapatkan pengalaman belajar seperti mendengarkan orang tuanya membacakan dongeng, terbiasa menjawab pertanyaan dari ceritera yang telah didengarnya, mulai mengenal buku, dibiasakan untuk mengemukakan secara lisan apa yang diinginkan kepada orang tuanya, dan ada kesempatan untuk melakukan eksplorasi lingkungan, sehingga memungkinkan seorang anak memiliki keteampilan pra-akademik.

Keterampilan pra-akademik merupakan prasyarat untuk belajar secara akademik. Keteramilan anak dalam mendengarkan misalnya merupakan prasyarat untuk belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan mendengarkan dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Sebaliknya anak yang tidak memilki keterampilan mendengarkan dengan baik, akan mengalami hambatan ketika belajar membaca. Anak yang memiliki keterampilan pra-akademik akan lebih cepat dalam belajar secara akademik di sekolah dasar, dan cenderung memiliki rasa pecaya diri dan motivasi yang lebih baik dibanding dengan yang tidak (Solyster, 2004).

Sering ditemukan anak yang mengalami masalah dalam belajar (learning problem) di Sekolah Dasar terkait dengan tidak dikuasainya keterampilan pra-akademik. Tidak jarang anak seperti ini memiliki penghargaan diri yang rendah, dan memiliki perasaan bahwa sekolah bukan tempat yang menyenangkan. Akibat yang mungkin muncul adalah anak mengalami kesulitan dalam perilaku.

b. Situasi di Sekolah

Proses belajar di sekolah terkait dengan elemen kurikulum, dan metode pembelajaran. Sekolah-sekolah kita pada umumnya sangat kuat perpatokan pada pencapaian target kurikulum dengan muatan yang sangat banyak. Oleh karena itu ada kecenderungan bagi guru untuk selalu mengukur keberhasilan program pembelajaran itu dilihat dari tercapainya target kurikulum. Namun ada kenyataan lain, yang hampir luput dari perhatian guru yaitu kurangnya kesempatan untuk mengecek apakah setiap anak sudah sampai pada tingkat pemahaman konsep? Data inilah yang tidak banyak diketahui oleh guru, sehingga jika ada anak yang ternyata belum tuntas dalam memahami satu konsep pada topic tertentu sementara pembelajaran terus melangkah ke topik berikutnya yang lebih tinggi, maka sudah dapat dipastikan anak akan mengalami kesulitan untuk memhami topic yang baru itu.

Apabila situasi seperti ini berlangsung terus menerus, maka akan ada anak yang mengalami kesulitan yang bersifat kumulatif. Hal seperti ini sering terjadi pada pelajaran matematika dan bahasa. Sebagai contoh, seorang anak kelas satu Sekolah Dasar belum tuntas dalam memahami konsep bilangan, pada saat itu guru sudah melangkah ke topic tentang penjumlahan, maka sudah dapat dipastikan akan mengalami ksesuliatan dalam penjumlahan. Jika konsep penjumlahan belum dikuasai tetapi pembelajaran sudah melangkah ke topic tentang pengurangan, demikian seterusnya. Anak tidak pernah memahami konsep dengan tuntas. Masalah belajar seperti ini (learning problems) sangat banyak ditemukan di sekolah-sekolah kita.

3. Mengenali Kesulitan Belajar Pada Anak

Kesulitan belajar yang bersifat internal (learning disability) dan kesulitan belajar yang bersifat eksternal (learning problem) menunjukkan gejala yang hampir sama yaitu adanya kesulitan dalam belajar membaca/menulis, kesulitan dalam belajar matematika dan adanya kesulitan dalam perilaku. Oleh karena itu untuk mengenal adanya kesuliatan belajar dapat dilakukan dengan mencari kaitan antara keterampilan akademik (membaca/menulis dan matematika) dengan keterampilan pra-akademik (kesadaran linguistik dan keteampilan proses kognitif dasar) melalui proses asesmen.

a. Menemukan Hubungan antara Kesadaran Linguistik dengan Kesulitan
Membaca.

Kesadaran linguistik adalah keterampilan seorang anak dalam mempersepsi bunyi fonem, morfem, sematik dan sintaksis. Anak yang mempunyai kesadaran lnguistik dengan baik, tidak akan mengalami kesulitan dalam belajar membaca. Oleh kaarena itu jika ditemukan ada anak yang mengalami kesulitan membaca, langkah pertama yang perlu diketahui adalah dalam hal apa anak tersebut mengalami kesulitan. Apakah dalam mengenal huruf, menggabungkan dua huruf menjadi suku kata (peleburan bunyi), menggabungkan suku kata menjadi kata atau kesulitan dalam menyusun kata dalam kalimat.

Setelah kesulitan membaca anak dapat diketahui, langkah berikutnya adalah mengecek keterampilan pra-akademik (kesadaran linguistik). Apabila ternyata aspek kesadaran linguistik belum dikuasai maka intervensi dari kesulitan membaca ini dilakukan agar anak memiliki kesadaran linguistic sebagai prasyarat untuk dapat belajar membaca.

b. Menemukan Hubungan antara Keterampilan Proses Kognitif Dasar dengan
Matematika

Keterampilan proses kognitif dasar sangat erat kaitannya dengan keterampilan belajar matematika. Anak yang telah memiliki keterampilan proses kognitif dasar akan lebih mudah untuk belajar matematika, dan sebaliknya. Keterampilan kognitif dasar meliputi: keterampilan dalam mengelompokkan objek menurut atribut tertentu, keterampilan mengurutkan objek menurut besar/kecil atau panjang pendek, korespondensi, dan kemampuan dalam konservasi.

Langkah yang harus dilakukan adalah, pertama mengetahui dalam hal apa anak mengalami kesulitan matematika. Apakah pada konsep bilangan, nilai tempat, algoritma, fakta dasar. Setelah diketaui dan diperoleh yang jelas tentang kesulitan matematika yang dialami, langkah berikutnya adalah mengecek apakah anak telah memiliki kemampuan dalam proses kognitif dasar. Abila ditemukan ada aspek proes psikologi dasar yang belum dikuasai, maka intervensi pembelajaran dilakukan pada aspek itu, sebagai prasyarat untuk bias belajar matematika



C. Pembelajaran Pada Anak yang Mengalami Kesulitan Belajar.

Dalam melakukan intervensi pada anak yang mengalami kesulitan belajar harus selalu dimulai dengan melakukan asesmen. Asesmen dilakukan untuk mengetahui pada aspek apa anak itu mengalai kesulitan, apa saja yang sudah dikuasi pada saat ini, apakah kesulitan itu terkait dengan keterampilan pra-akademik.

Apabila proses asesmen sudah dilakukan dan diperoleh data yang akurat tentang kesulitan belajar anak, langkah berikutnya adalah menyusun program intervensi dan melakukan proses pembelajaran. Terdapat empat langkah pembelajaran yang bersifat hirarkis yaitu: (1) Pembelajaran pada tahap kongkret, (2) Pembelajaran pada tahap semi kongkret, (3) Pembelajaran pada tahap semi asbtak dan (4) Pembelajaran pada tahap absrtak.

Melalui keempat tahapan belajar yang sangat sistematis seperti itu diharapkan anak yang mengalami kesulitan belajar dapat menguasai konsep dan prinsip secara tuntas dari yang dipelajarinya. Melalui proses pembelajaran seperti ini secara kognitif anak belajar secara reversal yaitu memahami konsep abstrak melalui proses yang kongkret dan mengkongkretkan konsep yang abstrak. Apabila anak sudah bias berpikir bolak balik dari kongkret ke abstrak dan dari abstrak ke kongkret, berarti konsep sudah dapat dikuasai dengan tuntas, dan anak sudah bias dibawa ke topic lain yang lebih tinggi (ada di atasnya).

Kesalahan yang sangat fatal jika melakukan pembelajaran pada anak yang mengalami kesulitan belajar langsung pada tahap abstrak. Hal seperti ini sering dijumpai di sekolah-sekolah kita, dimana guru mengajar tanpa menggunakan media/alat peraga untuk mengkongkretkan konsep yang abstrak. Guru lebih banyak berbicara ketimbang mengajak anak untuk melakukan tindakan secara kongkret. Kenyataannya anak lebih banayak diajarkan untuk menghapal fakta bukan untuk memahami konsep dan prinsip.

Apabila anak yang mengalami kesulitan belajar dapat berhasil dalam memahami konsep dan prinsif dengan tuntas, anak merasakan sebuah pengalam sukses dalam belajar, yang sebelumnya mengalami kegagalan dami kegagalan. Pengalaman sukses ini diharapkan akan berdapak lansung kepada timbulnya rasa penghargaan diri, kepercayaan diri dan motivasi untuk belajar. Pengalaman sukses bagi seorang anak apalagi anak yang mengalami kesulitan belajar sangat penting, oleh sebab itu situasi belajar harus diciptakan sedemikian rupa agar setiap keberhasilan dalam belajar betapapun kecilnya harus dapat diketahui dan dirasakan oleh anak, termasuk anak yang mengalami kesulitan belaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar