Senin, 16 Agustus 2010

REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

REORIENTASI PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS (SPECIAL NEEDS EUCATION) USAHA MENCAPAI PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

Zaenal Alimin
Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus SPS UPI
Email: alimin@upi.edu

A. Pendahuluan

Saat ini sedang terjadi proses tranformasi pemikiran dari konsep pendidikan khusus/PLB (special education) ke konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education). Terdapat perbedaan orientasi antara pendidikan khusus/PLB dengan pendidikan kebutuhna khusus. Konsep pendidikan kebutuhan khusus saat ini dipandang sebagai sebuah pemikiran yang bersifat holistik, anak dipandang sebagai individu yang utuh, setiap anak memiliki hambatan untuk berkembang dan hambatan dalam belajar yang bervaraiasi. Oleh karena itu menurut paham ini pembelajaran seharusnya perpusat pada anak untuk membantu menghilangkan hambatan belajar dan hambatan perkembangan, sehingga kebutuhan belajar setiap anak dapat dipenuhi.
Konsep yang sangat ideal seperti itu mendapat respon positif dari semua kalangan, ada usaha-usaha para praktisi pendidikan di lapangan mulai mencoba mempraktekan prinsip-prisip pendidikan yang dapat mengakomodasi kebutuhan setiap anak. Namun demikian konsep tentang pendidikan kebutuhan khusus dan inklusi harus secara terus menerus diperkenalkan kepada para pendidik dan calon pendidik, agar pemahaman tentang pendikan inklusif semakin dipahami dan dan diterima.
Pada tulisan ini dijelaskan perbedaan paradigma pendidikan khusus/PLB (special education) dengan paradigma pendidikan kebutuhan khusus (special needs educaation), diharakan para pembaca terutama para guru dan mahasiswa calon guru memperoleh pemahaman yang jelas tentang dasar pemikiran yang berada dibelakang paradigma pendidikan kebutuhan khusus. Pada gilirannya diharapkan para pembaca memliki pendirian bahwa setiap anak itu beragam, keragaman itu sebuah kenyataan yang harus diterima dan dikelola dalam pembelajaran. Selain itu para pembaca –para guru dan mahasiswa calon guru- diharapkan tidak lagi berpikir bahwa anak-anak di dalam kelas itu homogen dan diperlakukan dengan cara yang sama.
B. Perubahan Paradigma : Dari Pendidikan Khusus/PLB (Special Education) ke Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
1. Paradigma Pendidikan Khusus/PLB (Special Education)
Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat yang disebut Pendidikan Luar Biasa/Pendidikan khusus (sebagai terjemahan dari Special Education), selama beberapa dekade telah mengalami banyak perubahan. Perubahan itu dipengaruhi oleh sikap dan kesadaran masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.
Di dalam konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus) dan dalam sistem pendidikan segregasi, anak penyandang cacat dilihat dari aspek karakteristik kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan, sehingga setiap kecacatan harus diberikan layanan pendidikan yang khusus yang berbeda dari kecacatan lainnya (dalam prakteknya terdapat sekolah khusus/ Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa). Layanan yang terpisah dari pendidikan biasa. pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan segregasi. Oleh karena itu terdapat dikotomi antara pendidikan khusus/Pendidikan Luar Biasa/ Sekolah Luar Biasa dengan pendidikan biasa/ sekolah biasa, dianggap dua hal yang sama sekali berbeda. Dengan kata lain fokus utama dari Special Education/ PLB adalah label kecacatan bukan anak sebagai indvidu yang unik. Cara berpikir seperti ini didasari oleh sebuah pendekatan yang disebut medical model
Dalam paradigma medical model, pendidikan khusus/PLB (special education) layanan pendidikan pada anak penyandang cacat didasarkan pada label kecacatan secara segregasi (sekolah khusus/SLB) dan layanan pendidikan integrasi. Layanan pendidikan segregasi yaitu layanan pendidikan yang diberikan pada satu jenis kecacatan tertentu dalam bentuk sekolah khusus seperti sekolah khlusus untuk anak tunanetra, sekolah khusus untuk anak tunarungu, dst. Sementara itu, layanan pendidikan yang dianggap lebih maju yaitu anak-anak yang menyandang kecacatan layanan pendidikannya di satukan dengan anak bukan penyandang cacat di sekolah biasa, dengan syarat anak-anak penyandang cacat dapat diterima di sekolah biasa apabila dapat mengikuti ketentuan yang beralaku bagi anak-anak bukan penyandang cacat.
2. Paradigma Pendidikan Kebutuhan Khusus (Special Needs Education)
Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari kecacatan yang dimilinya.Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual (Miriam, 2001). Pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) memamdang anak termasuk anak penyandang cacat sebagai individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat dihormati. Pendekatan yang digunakan dalam pendidikan kebutuhan khusus adalah social model
Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan khusus yang bersifat menetap (permanently special needs).
Anak berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3) mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang dialaminya. Apabila mereka tidak mendapatkan layanan pendidikan yang tepat sesuai dengan kebutuhannya, tidak mustahil hambatan-hambatan tersebut akan menjadi permanent.
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen (permanently special needs) adalah anak-anak yang mengalami hambatan dan kebutuhan khusus akibat dari kecacatan tertentu, misalnya kebutuhan khusus akibat dari kehilangan fungsi penglihatan, kehilangan fungsi pendengaran, perkembangan kecerdasan/kognitif yang rendah, ganggauan fungsi gerak/motorik dsb.
Anak berkebutuhan khusus baik yang bersifat temporer maupun yang bersifat permanen memerlukan layanan pendidikan yang disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan-kebutuhannya. Bidang studi yang membahas tentang penyesuaian pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan kebutuhan khusus (Special Needs Education). Oleh sebab itu cakupan wilayah pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas karena tidak dianalogikan dengan lokasi atau tempat layanan yang bersifat khusus (sekolah khusus/sekolah luar biasa seperti pada konsep pendidikn khusus/PLB (special education), tetapi lebih bersifat fungsional yaitu layanan pendidikan bagi semua anak yang membutuhkan layanan khusus akan pendidikan (special educational needs) di manapun mereka berada baik di sekolah biasa, di sekolah khusus, di rumah (home schooling), di rumah sakit (bagi anak yang rawat inap sangat lama dan meningalkan sekolah), maupun mungkin di lembaga-lembaga perawatan anak. Anak-anak dengan diagnosis yang sama (misalnya : tunanetra atau tunagrahita), dalam para digma pendidikan khusus/luar biasa dilayani dengan cara yang sama berdasarkan berdasarkan label kecacatannya. Sekarang disadari bahwa anak dengan diagnosis medis yang sama ternyata dapat belajar dengan cara yang jauh berbeda. Dengan kata lain, mereka dapat mempunyai kebutuhan pendidikan (special educational needs) yang berbeda-beda (Miriam, 2001).
Diagnosis seperti yang dilakukan pada masa lalu menyebabkan anak-anak diberi label ketunaan yang mengakibatkan gurunya memfokuskan aktivitas layanan pendidikan pada keterbatasan yang disebabkan oleh kecacatanya. Ini mengakibatkan guru tidak menyadari potensi yang ada pada diri anak. Pemberian label dan layanan pendidikan yang terlalu dispesialisasikan menyebabkan banyak guru khusus kehilangan pemahaman yang holistic tentang anak dan, tidak menggunakan pendekatan holistic dalam pembelajaran. Ini mengakibatkan timbulnya anemia pendidikan dan menghambat pengayaan
Perlu dipahami perbedaan istilah pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) dengan istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs). Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pendidikan kebutuhan khusus (special needs education) adalah disiplin ilmu yang membahas tentang layanan pendidikan yang disesuiakan bagi semua anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan pekembangan akibat dari kebutuhan khusus tertertu baik yang bersifat temporer maupun yang besifat permanen. Sementara itu istilah kebutuhan khusus akan pendidikan (special educational needs) adalah kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh seorang anak secara individual.
Sejauh ini telah terjadi pergeseran atau pergerakan dalam cara berpikir dari pemahaman yang didasarkan pada pengelompokkan anak menurut identitas atau label kecacatan tertentu (medical model) menuju ke arah pemahaman anak secara holisstik dan melihat anak sebagai individu yang unik (social model). Untuk melihat proses pergeseran cara pandang seperti itu dapat dilihat pada bagan 1. berikut ini:






Bagan 1 : Pergerakan Dari Pendidikan Kusus/PLB ke Pendidikan Kebutuhan Khusus
Paradigma pendidikan kebutuhan khusus melihat individu anak dari sudut pandang yang lebih holistik yaitu melihat anak dari kebutuhan, hambatan belajar dan hambatan perkembangannya secara individual bukan dari label kecacatan yang dialami. Konsekuensi dari cara pandang ini melahirkan gagasan bahwa anak-anak penyandang cacat seharusnya dilayani pendidikannya bersama-sama dengan anak pada umumnya di sekolah biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya.
Layanan pendididikan seperti itu dinamakan pendidikan inklusif yang bersifat responsive dan disesuiakan. Hal ini dirumuskan dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar (Dakar World Education Furum, April 2000). Rumusan akhir dari forum itu adalah: Tantangan utama yang diahadapi adalah menjamin visi pendidikan untuk semua yang luas sebagai konsep yang bersifat inklusif yang tercermin dari kebijakan nasional setiap negara dan pemerintah tentang kebijakan pendidikan. Pendidikan untuk semua harus mengambil tanggung jawab tentang kebutuhan golongan miskin dan tidak beruntung, termasuk, pekerja anak, anak-anak di daerah pedesaan yang terpencil, anak dari budaya-bahasa minoritas, anak/remaja di daerah konflik, remaja yang terinfekti HIV dan AIDS, dan anak-anak yang memerlukan kebutuhan khusus akan pendidikan (termasuk penyandang cacat).
a. Inklusi Pendekatan Perkembangan dalam Pendidikan
Pendidikan inklusif sebagai sebuah pendekatan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dan belajar semua anak, remaja dan orang dewasa yang difokuskan secara spesifik kepada mereka yang rawan dan rapuh, terpinggirkan dan terabaikan. Prinsip pendidikan inklusif di adopsi dari Konferensi Salamca tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus (UNESCO, 1994) dan di ulang kembali pada Forum Pendidikan Dunia di Dakar (2000).
Pendidikan inklusif mempunyai arti bahwa sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa mempedulikan keadaan fisik, intelektual, sosial, emosi, bahasa, atau kondisi-kondisi lain, termsuk anak-anak penyandang cacat anak-anak berbakat (gifted children), pekerja anak dan anak jalanan, anak di daerah terpencil, anak-anak dari kelompok etnik dan bahasa minoritas dan anak-anak yang tidak beruntung dan terpinggirkan dari kelompok masyarakat (Salamanca Statement, 1994).
Persoalan pokok dalam pendidikan inklusif adalah hak azasi manusia (HAM) dalam pendidikan yang dinyatakan dalam deklarasi universal tentang hak azasi manusia (Universal Declaratation of Human Right, 1948). Hal yang lebih khusus dan sangat penting adalah hak anak untuk tidak didiskriminasikan yang dinyatakan dalan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on theRight of the Child, UN, 1989). Sebagai konsekuensi logis dari hak-hak anak ini adalah bahwa semua anak (all children) mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang tidak diskriminatif dalam hal kecacatan (disability), kelompok etnik (ethnicity)), agama (religion), bahasa (language), jenis kelamin (gender), kemampuan (capability) dan sebagainya.
Sementara itu terdapat alasan-alasan penting seperti alasan ekonomi, sosial, dan politik untuk mencari kebijakan dan pendektan pendidikan yang berifat inklusif. Ini berarti bahwa pendidikan harus memimbulkan perkembangan personal, membangun hubungan di antara individu, kelompok dan bangsa. Salamanca Statement and framework for Action, (1994) menjelaskan bahwa sekolah regular yang beorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua.
Pengaruh perkembangan politk terhadap keberagaman budaya dan meluasnya pemahaman tentang demokrasi telah menguatkan peran pendidikan dalam soialisai poltik dan memfasilitasi keaktifan warga negara dalam berdemokrasi. Pendidikan, disamping harus merespon keberagaman talenta indivual, pendidikan juga harus menghadapi rentang latar belakang budaya yang luas dari kelompok yang akan membentuk masyarakat (society). Pendidikan harus memikul tugas berat untiuk mengarahkan keberagaman menjadi sebuah konstribusi konsruktif terhadap pemahaman bersama antara individu dengan kelompok. Sebuah kebijakan pendidikan harus mampu mempertemukan pluralisme dan memungkinkan setiap orang menemukan tempatnya di dalam masyarakat. Komisi International tentang Pendidikan untuk abab 21, mengingatkan kebijakan pendidikan harus secara memadai bersifat diversifikasi dan harus dirancang agar tidak menjadi penyebabkan terjadinya eklusi sosial, dan sekolah-sekolah harus mendorong keinginan individu untuk hidup secara bersama/ to live together (UNESCO, 1996).
Dari penjelasan itu terkandung makna adanya pengakuan tehadap konsep pendidikan dasar yang luas, yang meliputi: pemberian akses yang sangat luas dan mempromosikan kesamaan, memfokuskan kepada belajar, memperluas cara dan lingkup pendidikan, meningkatkan peran lingkungan untuk kepentingan belajar, dan memperkuat kemitraan (UNESCO, 1990).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan inklusif bertujuan untuk membangun konsep yang koheren dan kerangka kebijakan yang kontekstual dengan kondisi lingkungan sehingga tersedia akses dan kesamaan dalam pendidikan dasar untuk semua anak, dan apa yang terkandung dalam pendidikan sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan yang beragam dapat direspon dan dipenuhi di dalam jalur utama pendidikan (pendidikan biasa), baik pada jalur pendidikan formal maupun pendidikan non-formal.
b. Memahami Konsep Pendidikan Inklusif
Inklusi dipandang sebagai sebuah proses dalam merespon kebutuhan yang beragam dari semua anak melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi eklusivitas di dalam dan dari pendidikan (Booth, 1996). Pendidikan inklusif mencakup perubahan dan modifikasi dalam isi, pendekatan-pendekatan, struktur dan strategi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua anak seseuai dengan kelompok usianya. Pendidikan inklusif dalam pelaksanaannya merupakan tanggung jawab dari system pendidikan biasa untuk mendidik semua anak (UNESCO, 1994).
Pendidikan inklusif sangat peduli dalam memberikan respon tepat terhadap spektrum kebutuhan belajar yang luas baik dalam setting pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Pendidikan inklusif adalah sebuah pendektan yang melihat bagaimana mengubah system pendidikan agar dapat merespon keberagaman peeserta didik. Tujuannya adalah agar guru dan siswa keduanya memungkinkan merasa nyaman dalam keberagaman dan melihat keragaman sebagai tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, keberagaman bukan sebagai masalah.
Untuk memperoleh pemahaman yang jelas tentang konsep penddidikan inklusif, diperlukan definisi yang jelas, disepakati dan diterima oleh banyak pihak secara internasional. Jika pendidikan inklusif didefinisikan secara sempit atau hanya didasarkan pada pandangan bahwa anak sebagai masalah, maka pendidikan inklusif akan menjadi tidak cocok. Definisi tentang pendidikan inklusif akan terus berubah secara pelan-pelan sebagai refleksi dari apa yang terjadi dalam prakteknya, dalam kenyataan, dan bahkan harus terus berubah jika pendidikan inklusif ingin tetap memiliki respon yang bernilai nyata dalam mengahdapi tantangan pendidikan dan hak azasi manusia.
Meskipun definsi tentang pendidikan inklusif itu bersifat progresif dan terus berubah, tetapi diperlukan kejelasan konsep yang terkandung didalamnya, karena banyak orang menganggap bahwa pendidikan inkludif sebagai versi lain dari pendidikan khusus/PLB (special esucation). Konsep yang mendasari pendidian inklusif sangat berbeda dengan konsep yang mendasari pendikan khusus (special education). Inklusi atau pendidikan inklusif adalah bukan istilah lain dari pendidikan khusus. Konsep pendidikan inklusif mempunyai banyak kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang perbaikan sekolah (schools improvement).
Definisi pendidikan inklusif yang diterima oleh banyak pihak adalah definisi yang diangkat dari seminar tentang pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Agra India, yang disetujui oleh 55 partisipan dari 23 negara. Dari hasil seminar itu pendidikan inklusif didefinisikan sebagai berikut:
• Lebih luas dari pada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, non-formal dan system informal
• Menghargai bahwa semua anak dapat belajar
• Memungkinkan struktur, sistem dan metodologi memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak
• Mengakui dan menghargai bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa, kecacatan, status sosial ekonomi, potensi dan kemampuan
• Merupakan proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks budaya
• Merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan masyarakat inklusif. (Seminar on Inclusive Education Agra India, 1998).
Definisi yang dikutif di atas menggambarkan sebuah model pendidikan inklusif yang mendasarkan konsep-konsep tentang: anak, system pendidikan, keragaman dan diskriminasi, proses memajukan inklusi, dan konsep tentang sumber daya. Secara terperinci dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Konsep tentang anak
• Hak semua anak untuk memperoleh pendidikan di dalam masyarakatnya sendiri
• Semua anak dapat belajar dan anak dapat mengalami kesulitan dalam belajar
• Semua anak membutuhkan dukungan dalam belajar
• Pembelajar berpusat pada anak menguntungkan semua anak

2) Konsep tentang Sistem Pendidikan dan Sekolah
• Pendidikan lebih luas dari pada pendidikan formal di sekolah (formal schooling)
• Fleksibel, sistem pendidikan bersifat responsif
• Lingkunngan pendidikan ramah terhadap anak
• Perbaikan mutu sekolah dan sekolah yang efektif
• Pendekatan yang menyeluruh dan kolaborasi dengan mitra kerja

3) Konsep tentang Keberagaman dan Diskriminasi
• Menghilangkan diskriminasi dan pengucilan (exclusion)
• Memandang keragaman sebagai sumber daya, bukan sebagai masalah
• Pendidikan inklusif menyiapkan siswa yang dapat menghargai perbedaan-perbeaan.

4) Konssep tentang Proses Memajukan Inklusi
• Mengidentifikasi dan mengatasi hambatan dalam inklusi
• Meningkatkan partisipasi nyata dari semua pihak
• Kolaborasi dan kemitraan
• Metodologi partisipatori, penelitian tindakan dan kolaboratif inkuiri

5) Konsep tentang Sumberdaya
• Memanfaatkan sumber daya loakal yang tersedia (local resources)
• Mendistribusikan sumber daya yang tersedia
• Memandang manusia ( anak, orang tua, guru, kelompok orang yang termarginal kan dsb) sebagai sumberdaya kunci
• Suberdaya yang tepat di sekolah dan masyarakat dibutuhkan untuk anak-anak yang berbeda. Sebagai contoh Braille, alat-alat bantuan (assistive divice)

C. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga fungsi yaitu: (1) Fungsi preventif, (2) Fungsi kompensasai, (3) Fungsi intervensi,
1. Fungsi Preventif
Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu: (a) akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah agar faktor-faktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya hambatan belajar, (b) akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan dan kepribadian anak, (c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri (kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan.
Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang yang mungkin tidak diperoleh di lingkungan keluarganya.
2. Fungsi Intervensi
Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
3. Fungsi Kompensasi
Pengertian kompensasi dalam kontek pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran. Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis dengan menggunakan fungsi perabaan.
Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran
Contoh lain jika di sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis melainkan dengan ujian lisan. Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi lainnya yang masih utuh.
D. Konsep Anak Berkebutuhan Khusus (Children with Special Needs)
Istilah anak berkebutuhan khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda, dan oleh kaarena itu setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Cakupan konsep anak berkebutuhan khusus dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementra (temporer) dan anak berkebutuhan khusus yang besifat menetap (permanent).
1. Anak Berkebutuhan Khusus Bersifat Sementra (Temporer)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat sementara (temporer) adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan disebabkan oleh faktor-faktor eksternal. Misalnya anak yang yang mengalami gangguan emosi karena trauma akibat diperekosa sehingga anak ini tidak dapat belajar. Pengalaman traumatis seperti itu bersifat sementra tetapi apabila anak ini tidak memperoleh intervensi yang tepat boleh jadi akan menjadi permanent. Anak seperti ini memerlukan layanan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu pendidikan yang disesuikan dengan hambatan yang dialaminya tetapi anak ini tidak perlu dilayani di sekolah khusus. Di sekolah biasa banyak sekali anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus yang berssifat temporer, dan oleh karena itu mereka memerlukan pendidikan yang disesuiakan yang disebut pendidikan kebutuhan khusus.
Contoh lain, anak baru masuk Kls I Sekolah Dasar yang mengalami kehidupan dua bahasa. Di rumah anak berkomunikasi dalam bahasa ibunya (contoh bahasa: Sunda, Jawa, Bali atau Madura dsb), akan tetapi ketika belajar di sekolah terutama ketika belajar membaca permulaan, mengunakan bahasa Indonesia. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan munculnya kesulitan dalam belajar membaca permulaan dalam bahasa Indonesia. Anak seperti ini pun dapat dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus sementra (temporer), dan oleh karena itu ia memerlukan layanan pendidikan yang disesuikan (pendidikan kebutuhan khusus). Apabila hambatan belajar membaca seeperti itu tidak mendapatkan intervensi yang tepat boleh jadi anak ini akan menjadi anak berkebutuhan khusus permanent.
2. Anak Berkebutuhan Khusus yang Bersifat Menetap (Permanen)
Anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen adalah anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gannguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gannguan gerak (motorik), gannguan iteraksi-komunikasi, gannguan emosi, social dan tingkah laku. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanent sama artinya dengan anak penyandang kecacatan.
Istilah anak berkebutuhan khusus bukan merupakan terjemahan atau kata lain dari anak penyandang cacat, tetapi anak berkebutuhan khusus mencakup spektrum yang luas yaitu meliputi anak berkebutuhan khusus temporer dan anak berkebutuhan khusus permanent (penyandang cacat). Oleh karena itu apabila menyebut anak berkebutuhan khusus selalu harus diikuti ungkapan termasuk anak penyandang cacat. Jadi anak penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu konsekuensi logisnya adalah lingkup garapan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan pendidikan khusus yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.
3. Penggunaan Bahasa dan Terminologi dalam Konteks Pendidikan Kebutuhan Khusus
a. Penggunaan Bahasa
Untuk memahami sesuatu dengan benar dan jelas harus dimulai dengan penggunaan bahasa yang benar dan jelas pula sejalan dengan paradigma yang digunakan. Perubahan paradigma yang terjadi membawa implikasi pada penggunaan bahasa (istilah atau terminologi). Istilah atau terminologi yang digunakan diyakini akan mempunyai pengaruh dalam cara kita berpikir dan memandang sesuatu. Orang-orang yang mempunyai perbedaan dan menyimpang dari orang kebanyakan (dalam hal tertentu) sering digunakan istilah atau bahasa tertentu yang dapat menggambarkannya. Akan tetapi cara seperti ini sering mengarah kepada pemberian label atau stigma yang tidak tepat kepada orang-orang yang dianggap berbeda dari orang kebanyakan (penyandang cacat).
Label atau stigama atau istilah yang digunakan untuk menggambarkan orang yang menyandang kecacatan, sering menimbulkan kesulitan dan menimbulkan masalah yaitu bahwa semua orang penyandang cacat dianggap sama. Ekpresi seperti buta, dileksia, tuli, autisme, mengandung makna bahwa kita menganggap setiap kelompok itu bersifat homogen. Akan tetapi dalam kenyataannya, orang-orang yang dikelompokkan menjadi satu kelompok menurut label tertentu itu mempunyai perbedaan-perbedaan yang sangat besar atara satu individu dengan individu lainnya.
Dalam konsteks Pendidikan Kebutuhan Kebutuhan Khusus sangat dihindari cara menggambarkan kondisi individu bedasarkan label atau stigma yang didasarkan atas pengelompokkan kecacatan (disability). Oleh karena itu cara yang digunakan adalah dengan berpatokan pada prinsip melihat individu sebagai manusia, baru kemudian melihat kecacatannya. Manakala kita berhadapan dengan kenyataan kecacatan tertentu, akan sangat bijaksana apabila kita mengatakan a person with disability atau person who has disability dari pada mengatakan a disabled person (penyandang cacat dari pada orang cacat). Dengan mengatakan penyandang cacat (pereson who..... or person with) terkandung makna bahwa kecacatan merupakan sebuah ciri atau karakteristik kemanusian dari seseorang, dan sama halnya seperti kita mengatakan orang yang berambut putih, orang yang berkulit hitam dsb.Kita masih sering mendengar ada orang mengatakan: Ani adalah anak down syndorome. Dalam kenyataanya Ani juga adalah anak yang bermata sifit dan lucu, berambut ikal, memiliki dua saudara dan down syndrome. Jadi sangat manusiawi dan realistis jika kita melihat individu anak sebagai anak lebih dahulu baru kemudian melihat bahwa setiap anak memiliki karakteristik kemanusiaan yang bebeda-beda.
Hal lain yang sering menimbulkan kesulitan dalam menggambarkan penyandang cacat adalah penggunaan istilah penderita atau istilah korban, misalnya penderita tunarungu, penderita down syndrome, penderita autisme dsb. Seorang yang mengalami tunarungu dan dalam berkomunikasi mengunakan bahasa isyarat, ia buka sesorang yang menderita akibat tunarungu yang kemudian menggunakan bahasa isyarat. Aka tetapi penggunaan bahasa isyarat merupakan altearnataif atau kompensasi dalam komunikasi.
Sebagai seorang guru seharusnya menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat offensive kepada siswa-siswanya seperti: Kamu tuli, atau guru mengatakan “Hei kamu Freddy yang buta” . Adalah juga bersifat offensive dalam menggunakan kata normal sebagai cara dalam membandingkan individu penyandang cacat dan yang tidak. Misalnya kita mengatakan: “anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak normal.” Akan sangat tepat apabila dikatakan : ”anak yang berkesulitan belajar dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kesulitan belajar”. Penggunaan istilah normal dan tidak normal menjadi tidak relevan atau tidak sejalan dengan konsep pendidikan kebutuhan khusus.
b. Terminologi
Terdapat beberapa terminologi yang perlu dipahami dengan jelas dalam kaitannya dengan pendidikan kebutuhan khusus, yaitu istilah impairment, disabilities, dan istilah handicaps. Ketiga istilah tersebut sering dipertukarkan dalam penggunaannya sehari-hari.
Istilah impairment didefinisikan sebagai kehilangan, kerusakan atau ketidaklengkapan dari aspek psikologis, fisiologis atau ketidak lengkapan/kerusakan struktur anatomi. Hal seperti itu biasanya merujuk kepada kondisi kondisi yang bersifat medis atau kondisi organis (Foreman, 2001; Lewis, 1997), seperti rabun dekat, cerebral palsy, spina bifida, down syndrome, atau tuli.
Sementara itu disabilities (ketidakmampuan) adalah keterbatasan atau hambatan yang dialami oleh seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) tertentu. Sebagai contoh: karena kerusakan (impairment) spina bifida, seorang anak mengalami kesulitan atau hambatan untuk berjalan tanpa bantuan calipers atau crutches. Kerusakan pada fungsi pendengaran (hearing impairment), mengakibatkan seorang individu mengalami kesulitan atau hambatan utnuk berkomunilasi dengan menggunakan bahasa seacara verbal (Foreman, 2001).
Istilah handicaps diartikan sebagai ketidak beruntungan (disadvantage) pada seorang individu sebagai akibat dari impairment (kerusakan) atau disability (ketidakmampuan) yang membatasi atau mengahambat seseorang dalam menjalankan peranannya (tergantung kepada jenis kelainan, usia, dan faktor social budaya) secara sosial. Handicaps tidak hanya akan dialami oleh orang yang mengalami impairment atau disability, akan tetapi dapat pula dialami oleh semua orang, jika orang tersebut tidak dapat melakukan peranannya secara sosial.
Sebagai contoh seseorang yang tidak bisa berbahasa asing (Inggris, atau Mandarin atau bashasa asing lainnya) akan mengalami handicaps jika harus melakukan aktivitas yang berhubungan dengan salah satu bahasa asing tsb. Contoh lain, seorang yang mengalami tunanetra tidak mengalami handicaps untuk membaca tulisan awas ketika orang tersebut sudah menguasai teknologi computer. Sebaliknaya seorang yang bukan tunanetra yang tidak memilki keterampilan dalam menggunakan komputer akan mengalami handicaps jika harus mengerjakan sebuah pekerjaan yang menggunakan komputer. Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa impairment yang dialami oleh seorang individu dapat dipastikan akan mengakibatkan munculnya disability. Akan tetapi impairment dan disability tidak selalu menyebabkan timbulnya handicaps. Seorang yang mengalami kerusakan fungsi pendengaran (person with hearing impairment), akan kehilangan kemampuannya antara lain dalam berbahasa secara verbal. Kehilangan kemampuan bicara secara verbal akibat kerusakan fungsi pendengaran dikatakan sebagai disability. Namun demikian disability yang dialaminya itu kemudian dapat dikompen-sasikan dengan mengunakan bahasa isyarat atau komunikasi total sehingga meskipun ia mengalai disability dalam berbicara tetapi secara sosial masih dapat berkomunikasi dengan orang lain dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Maka orang ini tidak mengalami handicaps.
Dipihak lain apabila kita menghubungkan kondisi individu yang mengalami kecacatan tertentu, misalnya kehilangan fungsi pendengaran (person with hearing impairment) dengan pendidikan dan belajar, maka individu itu akan mengalami hambatan dalam belajar (barier to learning), sebagai akibat dari impairment dan disability yang dialaminya. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap individu akan sangat beragam meskipun mengalami impairment dan disability yang sama. Sebagai contoh ada dua orang anak yang berusia sama mengalami gangguan perkembangan kecerdasan (children with developmental disability) atau dalam istilah bahasa Indonesia disebut tunagarahita. Kedua anak ini dikelompokkan kedalam kategori tunagrahita ringan. Akan tetapi ternyata kedua anak ini memiliki hambatan belajar yang berbeda. Anak yang satu mengalami hambatan dalam belajar memahami konsep bilangan tetapi sudah mulai bisa membaca, mengurus diri dan dapat berkomuniskasi dengan orang lain. Sementara anak yang kedua mengalami hambatan dalam memahami simbul grafem (huruf alphabet) dan oleh karena itu belum bisa membaca, masih belum bisa mengurus diri, dan belum bisa duduk tenang. Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus, layanan pendidikan selalu didasarkan pada hambatan belajar yang dialami oleh anak secara individual, bukan didasarkan pada label dan karakteristik dari disability yang bersifat kelompok.
Hambatan belajar yang dialami oleh seorang individu memberikan gambaran kepada guru tentang bantuan apa yang seharusnya diberikan kepada anak tersebut. Ketika seorang guru mulai berpikir tentang pemberian bantuan (program pembelajaran) yang seharusnya diberikan kepada anak yang bersangkutan, pada saat itu sesungguhnya guru telah menemukan apa yang disebut dengan kebutuhan belajar anak (Special Educational Needs).





Sumber Bacaan

Alimin, Zaenal (2004) Reorientasi Pemahaman Konsep Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal Asesmen dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus. Vol.3 No 1 (52-63)
Foreman, Phil (2002), Integration and Inclusion In Action. Mc Person Printing Group: Australia.
Johsen, Berit and Skjorten D. Miriam, (2001) Education, Special Needs Education an Introduction. Unifub Porlag: Oslo
Lewis, Vicky (2003), Development and Disability. Blckwell Publishing Company: Padstow, Cornwall.
Stubbs, Sue (2002) Inclusive Education: Where there are few resources. The Atlas Alliance: Gronland , Oslo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar